Monday, March 19, 2012

Civic Culture (Budaya Kemasyarakatan)

Civic culture (budaya kemasyarakatan) adalah perangkat ide yang diwujudkan dalam representasi budaya untuk membentuk identitas kewarganegaraan dan adaptasi psikososial. Civic culture diciptakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba pada tahun 1963 untuk menjelaskan perilaku hubungan politik dan sosial yang diianggap penting bagi keberhasilan demokrasi modern. Dengan menggunakan teknik-teknik penelitian survai pada saat itu, Almond dan Verba melakukan pengkajian di lima negara, yakni: Inggris, Jerman, Italia, Meksiko, dan Amerika Serikat. Namun, dalam proses pengkajian mereka maka terjadi perubahan studi politik komparatif yang menjauh dari kecenderungan eksklusif dengan analisis mendasar terhadap studi perilaku komparatif.

Pada era kota-kota besar klasik (romantisme) banyak menginspirasikan kebanggaan kolektif dan fungsi dari pemerintahan kota dalam upaya untuk mendorong warganegara atau wargakota untuk berpartisipasi dalam proyek bersama bagi kepentingan semua pihak. Masyarakat mengagungkan dan mengagumi proyek-proyek umum seperti jembatan, kereta bawah tanah, taman-taman, saluran sungai, pelabuhan, dan bangunan-bangunan publik. Masyarakat penuh dengan kebanggaan atas civic culture seperti museum, acara-acara publik, dan karya seni yang cemerlang.

Dewasa ini, kelompok-kelompok pembahas diskusi, kelompok-kelompok pemerhati isu tertentu, dan wargakota-wargakota yang bertindak sebagai juri dalam pengadilan telah dikategorikan sebagai bagian dari teknik-teknik konsultatif oleh karena keprihatinan pemerintah nasional dan regional mengenai menurunnya civic culture dan berkurangnya perkembangan demokrasi dan sebagai akibat dari menurunnya tingkat kepercayaan warganegara atau wargakota terhadap pemerintah dan politik-politik dalam demokrasi.

Tujuannya adalah untuk melibatkan lebih banyak cakupan warganegara atau wargakota dan mereka yang memiliki andil (stakeholders) dalam pembuatan keputusan di suatu daerah sebagai pembelajaran bagi masyarakat, mengatasi (counterattack) sinisme dan animo masyarakat terhadap pemerintah (disengagement) (Reddel and Woolcock 2004 dalam Nicola Brackerz, Ivan Zwart, Denise Meredyth and Liss Ralston, 2005:14).

Secara singkat dapat diterangkan bahwa lazimnya konsepsi kewarganegaraan (citizenship) pada pertengahan abad ke-20 dianggap sebagai kewajiban. Kewajiban-kewajiban warganegara atau wargakota ini termasuk dalam hal partisipasi dalam pemilihan umum, membayar pajak, dan kerelaan untuk mengabdi dalam bidang militer. Sebaliknya, para warganegara atau wargakota mengharapkan agar hak-hak sipil mereka, hak politik, dan hak-hak sosial dan ekonomi tertentu dapat dilindungi oleh pemerintah.

Menurut Almond dan Verba (1963) bahwa budaya kemasyarakatan (civic culture) mungkin merupakan gambaran terbaik dari budaya politik. Budaya politik merupakan asal dan perkembangan dari konsepsi kewarganegaraan yang disebut sebagai civic culture ini.

Menurut mereka, diperlukan suatu budaya politik yang ditandai dengan klasifikasi partisipan (delegasi atau peserta), warganegara sebagai subjek, dan parokial yang berlipat tiga (threefold) di mana terdapat kemungkinan terjadinya kewarganegaraan tingkat tinggi yang berhubungan dengan seseorang yang dengan penuh pengabdian menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai warganegara.

Klasifikasi demikian merupakan contoh dari cara berpikir yang berhubungan dengan pandangan mengenai kewarganegaraan yang berdasarkan pada kewajiban (duty-based) ini.

Di dalam pengkajian Almond dan Verba pada konteks awalnya, nilai-nilai dan sikap-sikap yang ikut dalam mempertahankan lembaga-lembaga demokratis yang partisipatoris berhubungan dengan bagaiamana suatu masyarakat berhadapan dengan kepentingan mereka sendiri.

Bagaimana Civic Culture Terbentuk ?

Civic culture (budaya kemasyarakatan) sifatnya pluralistik dan berbasis pada komunikasi dan persuasi sebagai sebuah budaya dari kesepakatan dan keberagaman. Budaya ini membolehkan adanya perubahan tetapi dengan tingkat yang rendah. Hal ini merupakan bagian budaya politik yang mengarah pada orientasi politik khusus terhadap sistem politik dan berbagai variasinya dan sikap-sikap ke arah pengaturan diri dalam sistem itu.

Kemudian, dalam posisinya atas nilai-nilai umum dan sikap-sikap yang dimiliki bersama masyarakat, maka budaya politik dirumuskan sebagai suatu hubungan keterkaitan antara mikropolitik dan makropolitik.

Almond dan Verba menjelaskan tiga tipe dari budaya politik sebagai berikut:
  1. Parokial, yakni tidak terdapat perbedaan yang tegas mengenai aturan-aturan politik tertentu dan harapan-harapan muncul di antara para aktor seperti rendahnya spesialisasi politik.
  2. Subjek warganegara, yakni adanya perbedaan-perbedaan lembaga dan aturan dalam kehidupan politik, tetapi mengarah pada pendirian warganegara atau wargakota dalam hubungannya secara pasif secara mayoritas.
  3. Partisipan, yang ditandai dengan hubungan antara lembaga-lembaga khusus dan pendapat warganegara atau wargakota dan aktivitas yang saling berhubungan (interaktif).
Masyarakat kini cenderung untuk menunjukkan kombinasi dari ketiga budaya politik ini termasuk juga karakteristik-karakteristiknya. Misalnya dalam hal menunjukkan karakteristik partisipan di mana tindakan-tindakan partisipatoris berbasis pada anggapan rasionalitas yang dengan cara demikian keharmonisan budaya politik dan struktur politik terjadi.

Civic culture (budaya kemasyarakatan) yang menekankan pada partisipasi rasional dalam kehidupan politik digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan subjek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dan penggabungannya dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan keseimbangan aktivitas politik, keterlibatan dan adanya rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai parokial.

Di Eropa, kepuasan publik utama dengan keadaan politik dan kehidupan dan juga tingkat kepercayaan antara anggota masyarakat sangat berhubungan dengan adanya lembaga-lembaga politik dan kemakmuran relatif dari masyarakat. Dalam hal ini terdapat pandangan bahwa demokrasi yang terus dapat berjalan tidak tergantung pada faktor-faktor ekonomi semata. Faktor-faktor budaya tertentu juga penting, dan hal ini berhubungan dengan ekonomi dan pembangunan makropolitik. Demokrasi yang stabil menunjukkan interaksi ekonomi, politik dan faktor-faktor budaya.

Almond dan Verba juga berargumentasi bahwa jika sebuah sistem politik demokrasi yang memberikan kebebasan partisipasi politik bagi warganegaranya maka budaya politik demokrasi harus terdiri dari kepercayaan, perilakum, norma, persepsi dan partisipasi dukungan. Dalam hubungannya dengan orientasi nilai yang merupakan asumis dari karakter dalam partisipasi politik, maka dalam hal ini tidak ada unsur emosional atau adanya keterlibatan sentimen seseorang.

No comments:

Post a Comment